Minggu, 20 Mei 2012

INDIVO



“Tiiiin..tiiiiin...,” bunyi klakson motor memecah kesunyian pagi di halaman depan rumah Indy. Ia baru saja mengemasi barang-barang yang hendak dibawanya untuk pendakian kali ini. Sebuah carier yang digendongnya adalah hadiah pertama yang diberikan Papa kepadanya. Waktu menunjukkan pukul 04.00. Ia pun bergegas menuju halaman rumah yang masih ramai oleh suara klakson tersebut.

“ Lama banget Neng dandannya. Buruan naik! Udah hampir siang.”
“Yee..enggaklah, aku baru packing tadi. Maaf ya kalo lama nunggu hehe.”
“ Hmm gapapa. Yaudah cepetan naik!”

Indy pun naik ke jok belakang Kawasaki Ninja  milik Divo. Seketika motor tersebut melesat meninggalkan halaman rumah Indy.

Indy adalah seorang gadis berusia 18 tahun. Ia baru saja menempuh Ujian Nasional seminggu yang lalu. Indy memiliki seorang sahabat kecil yang kini seusia dengannya, yaitu Divo. Mereka memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah mendaki gunung. Sejak kecil Indy sering melakukan pendakian bersama Ayahnya ke beberapa gunung di Indonesia. Ayah Indy adalah seorang backpacker.  Karena seringnya mendaki, Indy menyukai hal tersebut dan menjadikannya hobi. Sedangkan Divo mendaki sejak mengikuti ekskul pecinta alam di SMU-nya. Dan ia menjadi sangat suka mendaki karena kecintaannya pada alam.
Hari ini mereka berencana untuk mendaki gunung Sumbing (3371 mdpl) yang terletak di Wonosobo, Jawa Tengah. Jarak yang harus ditempuh dari Jakarta-Wonosobo sekitar 465 km. Mereka menggunakan motor untuk menuju stasiun bus dan menitipkannya ke salah satu rumah temannya yang berada di dekat sana. Mereka tiba di stasiun pada pukul 04.30. Sebelumnya mereka telah memesan tiket sehari sebelum keberangkatan. Jadi mereka langsung mencari kursi untuk menunggu kedatangan bus sambil berbincang-bincang.

“Aduuh laper nih,” keluh Divo memulai perbincangan.
“Emangnya tadi kamu gak sarapan?” balas Indy.
“Gak sempet. Aku kan gak mau telat cuma karena aku sarapan dulu.”
“Maaf ya gara-gara aku kamu gak sempet sarapan,” balas Indy memelas.

Ia mengeluarkan sekotak tempat makan yang berisi roti tawar yang dilapisi selai coklat di dalamnya. Lalu menyodorkan kotak makan tersebut kepada Divo yang sedang keroncongan. “Nih buat pengganjal perut kamu nanti selama di  perjalanan.”

“Nah gitu dong. Kenapa gak dari tadi aja nawarinnya,” Divo dengan sigap meraih kotak makan milik Indy. Tanpa seizin Indy, ia langsung melahap habis roti selai coklat tersebut. Indy yang membiarkan tingkah laku sahabatnya itu tak tega melihatnya makan seperti orang tak makan seminggu.

Bus yang sedari tadi mereka nanti-nanti pun datang dan menuju tempat pemberhentian bus. Mereka langsung berlari kecil masuk ke dalam bus dan memasukkan carier ke dalam bagasi. Setelah itu mencari nomor duduk untuk ditempati.
“Div, aku merasa perjalanan kita kali ini bakalan panjang,” celetuk Indy yang baru saja menyenderkan kepalanya di tempat duduknya.
“Maksudnya?”
“Maksudku, medan yang kita pilih terlalu complicated. Aku khawatir gak kuat naik.”
“Kalo kamu udah gak kuat naik, kamu bilang sama aku. Kita gak mungkin turun kalo udah jauh mendaki.”
“Terus kamu mau ngapain kalo aku udah gak kuat?”
“Ya gendonglah.”
“ Ih cari-cari kesempatan dalam kesempitan!”
“Yaudah kalo gak mau aku tinggal aja mendingan.”
“Kamu tuh ya....” Kalimat Indy menggantung di lidah dan ia tidak berniat untuk melanjutkannya. Divo pun tergelak geli melihat ekspresi wajah Indy yang cemberut dan memerah jambu. 

Sementara waktu menunjukkan pukul 05.00, mereka melaksanakan sholat subuh terlebih dahulu. Lalu pada pukul 05.20 bus melesat meninggalkan stasiun pemberhentian. Divo yang menguap selama menunggu bus di stasiun tadi merasakan rasa kantuk yang berat. Ia pun tertidur dengan lelap. Sementara Indy hanya memandang layar handphonenya sambil menuliskan pesan kepada seseorang.
To: Dr.Yurissa
Hari ini sampai tiga hari ke depan aku gak bisa dateng. Aku lagi ada acara sama temen. Nanti kalo Papa nanya, kasih tau aku udah ke sana hari ini ya.

Entah apa yang ada dipikirannya hari ini sampai ia tidak sama sekali merasa melanggar suatu larangan dari Papanya. Ia merasa senang. Lebih dari itu, ia merasa bahagia berada di dekat sahabatnya yang selalu ada untuknya. Kapan pun dan di mana pun ia membutuhkan. Ia merasa Divo seakan mengerti apa yang ditakutkan atau diistimewakannya. Divo selalu mengerti semua keluh kesahnya. Ia selalu membiarkan pundaknya basah untuk menumpangkan tangisan seorang gadis sepertinya yang dilema. Divo selalu menjadi pelindung dari segala macam ancaman yang ada dihadapannya. Divo bukan tipikal laki-laki yang liar atau pembual. Ia bersikap dewasa dalam bertindak dan mengambil keputusan. Ia juga dapat dipercaya. Maka dari itulah Indy memutuskan bersahabat dengannya. Mereka sangat loyal dan terbuka satu sama  lain. Namun Divo lebih tertutup dibandingkan dengan Indy yang ceplas-ceplos. Di sekolah mereka terkenal dengan sebutan “Indivo”, ada juga yang menyebut “lem kertas” karena mereka sangat lengket seperti lem dengan kertas. Gaya persahabatan mereka sangat unik. Mereka  mempunyai semacam simbol atau bahasa tubuh yang hanya merekalah yang mengerti. Seperti melakukan gerakan pemanasan ringan, kode untuk memanggil dalam keadaan mendesak. Menyilangkan kedua tangan kode memberitahu agar menunggu sebentar. Mengibaskan rambut kode menarik perhatian seseorang. Menyubit tangan untuk memberikan semangat. Menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah dan menyembunyikannya ke belakang punggung kode sedang membohongi orang dan masih banyak lagi kode-kode yang mereka ciptakan. Meskipun mereka berbeda kelas tetapi mereka tetap kelihatan selalu bersama dan banyak teman-temannya yang menganggap mereka berpacaran. Mereka berdua tidak pernah mempermasalahkan soal itu karena memang tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka bersahabat tidak memandang berapa besar materi kekayaan atau ketenaran yang mereka miliki. Tetapi mereka cocok karena satu pemikiran dan selalu beradu argumentasi dalam berbagai macam diskusi. Kedua orang tua mereka sudah kenal akrab bahkan sudah seperti keluarga. Yang membedakan Divo dan Indy adalah kelengkapan anggota keluarga. Divo memiliki orangtua yang lengkap juga satu orang adik perempuan. Sedangkan Indy hanya memiliki seorang Ayah yang sangat menyayanginya melebihi apapun yang ada di dunia ini. Ia anak tunggal yang sampai saat ini dimiliki oleh Ayahnya. Ibunya sudah meninggal 3 tahun lalu karena serangan jantung. Sejak saat itu Indy menjadi kesepian karena tidak ada yang mendengarkan keluh kesahnya. Ayahnya jarang memiliki waktu untuknya karena kepadatan jadwal kerja. Syukurlah adanya Divo dapat mengobati kesepian Indy yang telah menimbun itu.

Lima jam kemudian mereka telah sampai di tempat peristirahatan bus. Indy membangunkan Divo yang sudah lama tertidur.
“Div, bangun!” Indy menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Divo.
“Hmmmmm... Jangan ndy! Jangan loncat!”
“Yee.., apa-apaan sih nih anak. Woi bangun! Ngigau mulu,” seru Indy sambil mencubit pipi Divo dengan gemas. Divo pun tersentak dan membuka mata lalu mengucek-uceknya.
“Eh, bangunin orang tuh yang bener dong. Kalau orangnya jantungan gimana?”
“Salah sendiri dibangunin nggak bangun-bangun. Udah deh nggak usah banyak komen, mendingan sekarang kamu cuci muka. Ihhh tuh ilernya udah kemana-mana,” ledek Indy.
“Orang ganteng sih no problem kalo ada ilernya, tetep kelihatan ganteng hahahahah.”

Indy hanya mendecak. Mereka pun keluar dari bus dan mencari toilet masing-masing. Setelah membersihkan diri di toilet, mereka pergi menuju food court yang menyediakan menu makanan yang murah dan sesuai dengan isi kantong mereka. Mereka memesan nasi goreng spesial dan teh manis hangat untuk sarapan pagi itu. Suasana sangat menyenangkan karena disela-sela makan, Divo mengoceh dan terus melontarkan potongan kejadian dalam mimpinya yang membuat ia tersentak bangun ditambah cubitan Indy yanga jatuh di pipinya. Itulah kelebihannya, di samping bersikap dewasa,  di situasi yang tepat ia dapat membuat lelucon atau bergurau. Entah mengapa apapun gurauan yang disampaikannya, Indy dapat tergelak dan tergelitik.

Setelah selesai makan, mereka segera menuju bus. Saat tiba di dalam bus, hanya tempat duduk mereka yang kosong. Ternyata orang-orang di dalam bus sejak tadi menunggu kedatangan mereka. Dengan malu-malu mereka duduk di tempat masing-masing. Bus pun menancapkan gas meninggalkan tempat peristirahatan.
Divo merebahkan punggungnya. Sedangkan Indy duduk menyamping melihat pemandangan dari dalam kaca bus. Pegunungan tampak menjulang dari kaki jalan tol yang mereka lalui. Tiba-tiba Divo dengan gerakan yang gesit memencet tombol capture di handphonenya dan menangkap wajah Indy yang sedang ternganga menikmati pemandangan di luar.
“Klik!” bunyi capture di handphone Divo membuyarkan semua bayangan Indy yang sedang menikmati pemandangan.
“Arghhhht! Rese banget sih kamu. Buruan hapus fotonya!”
“Hahahaha tidak semudah itu Nona,” kata Divo menanggapi.
“HAPUS sekarang!!!”
“Sssttttt, kok galak banget sih ? Kecilin sedikit dong volume suara kamu. Tuh liat penumpang lain pada bangun gara-gara suara kamu yang cempreng.”
“Ups, keceplosan. Yaudah tapi hapus dulu fotonyaaaa.”
“Enak aja hahaha. Kalo mau gitu syaratnya kamu harus jawab satu pertanyaanku dulu.”
“Apa ?”
“Kapan  waktu bidadari dateng ke bumi?”
“Itu sih gampang. Anak TK juga bisa jawab begituan doang. Kalo abis ujan kan biasanya ada pelangi, nah bidadarinya turun lewat situ buat mandi di kolam air terjun hahaha. Buruan hapus fotonya!”
“Jawaban kamu salah total. Jawab dulu dong yang bener.”
“Terus apa jawabannya?”
“Nyerah nih? Ckck. Bidadari dateng ke bumi disaat orang-orang membutuhkan kasih sayang. Terutama orang-orang yang kesepian, makanya dia ingin memberikan cintanya kepada orang malang tersebut agar dia nggak kesepian lagi....,”
“Kamu tuh kayak nggak ada pertanyaan lain aja deh...”
“Ssssttt... Jangan dipotong dulu! Aku belom selesai ngomong. Dan bidadari tersebut nggak pernah merasa capek atau lelah memberikan kasih sayangnya. Karena dia tau kalau orang tersebut akan bahagia suatu saat  nanti. Dan membalas semua kebaikannya.”
“Kok aku nggak ngerti ya? Kamu itu yang aneh-aneh aja deh.”
“Aneh gimana sih Ndy. Sepupu aku yang masih kecil aja ngerti. Masa kamu yang udah segede ini nggak ngerti ? hahahha. Yaudah deh kalo gitu fotonya nggak aku hapus.”
“Kalo mau ngedongeng tuh jangan ke aku. Udah tau aku bukan anak kecil lagi. Jangan samain aku kayak anak kecil pleaseee.”
“Hehehe sorry yaa, aku cuma bercanda kok Ndy. Senyum dong,” Divo menepukkan kedua telapak tangannya dan memohon dengan nada sok-memelas.
“Iyaa.. Yaudah aku mau tidur. Jangan ganggu aku ya!”
“Siiiip” balas Divo seraya mengangkat kedua jempolnya.

Dalam perjalanan selama 12 jam tersebut dihabiskan mereka untuk beristirahat guna memulihkan kondisi tubuh selama di perjalanan. Divo yang kebanyakan membaca Beruang Gunung selama perjalanan itu kini merasakan kantuk menyerangnya. Sekilas ia melihat wajah sahabatnya. Tampak wajah lelah menyelimutinya, tapi sedetik kemudian ia melihat kembali lekat-lekat wajah itu. Wajah yang menjanjikan kebahagian untuknya. Wajah yang sering ia buat cemberut juga tawa terbahak. Ia tampak manis dan lucu saat tertidur seperti itu. Ia menyukai gadis itu.
 12 jam berlalu sangat cepat. Laju dari bus yang berkelok-kelok mengikuti arah perjalanan membuat Indy bangun terlebih dulu sebelum Divo. Hari telah petang dan warna langit jingga kemerah-merahan. Dua puluh menit lagi mereka sampai di perkampungan yang akan mereka singgahi untuk bermalam. Bus yang mereka tumpangi menurunkannya di depan sebuah kampung bernama Desa Butuh yang terletak di Dusun Garung. Divo dan Indy menopang cariernya masing-masing di punggung. Lalu mereka berjalan menuju rumah Ketua RT setempat. Sebelumnya mereka pernah singgah di rumah seorang warga di sekitar sini dalam pendakian pertamanya ke gunung Sumbing dan Sindoro. Setelah mendapatkan izin dari ketua RT, mereka diperbolehkan menginap di rumah salah seorang warganya. Mereka akan menginap di rumah Pak Darmin. Pak Darmin dan istrinya menerima kedatangan mereka dengan senang hati. Setelah itu mereka dipersilahkan mandi oleh empunya rumah. Saat adzan maghrib berkumandang, mereka semua melaksanakan sholat berjamaah. Yang menjadi imam adalah Pak Darmin.
Sesudah sholat maghrib, Divo, Indy serta Pak Darmin dan istrinya makan bersama di atas sebuah tikar pandan. Pada saat makan Divo tidak banyak mengoceh, dibandingkan Indy yang sangat senang bertanya bagaimana perkembangan kampung di kaki gunung Sumbing ini. Selesai makan, mereka berbincang-bincang.
“Saya sudah 30 tahun di sini. Tapi belum ada tradisi yang berubah . Yang paling banyak berubah tuh kebiasaan masyarakat di  sini yang sudah pakai hape buat komunikasi atau pakai internet seperti gugel,” tutur Pak Damin dengan logat Jawa-nya.
“Wah bapak sendiri udah punya hape belum?hehe,” canda Indy.
“Kalo saya sih sudah Mbak. Kan malu kalo zaman sekarang ndak  punya hape, katanya kamseupay.” Mereka pun tertawa dan terus berbincang sampai larut malam. Indy yang sudah tidak bisa menahan rasa kantuk pun dipersilahkan tidur di bilik tamu milik Pak Darmin. Ruang itu sengaja dibuat khusus untuk tamu yang ingin bermalam sebelum melakukan pendakian. Berbeda dengan Divo, ia tidur di lantai yang beralaskan sleeping bag miliknya di tempat mereka makan tadi. Pukul 22.00 mereka semua baru bisa tertidur dari perjalanan melelahkan seharian.

Matahari menyingsing dari ufuk timur. Ayam-ayam mulai berkokok bersahutan dan senandung alam mulai dinyanyikan. Pagi itu mereka bersiap memulai pendakian. Indy mengenakan kaos lengan pendek dengan jeans hitam dan jaket tebal untuk menghindari udara dingin di kaki pegunungan. Begitu pun Divo, ia tidak ingin mempersulit pakaiannya saat sedang mendaki. Sebelum berangkat mereka disuguhkan sarapan dan berpamitan dengan tuan rumah meminta doa untuk keselamatan dalam pendakian.
“Matur nuwun Pak, Bu. Maaf kami udah ngerepotin kalian berdua,” ucap Divo sambil mencium tangan Pak Darmin dan istrinya. Indy pun melakukan hal serupa membuntuti Divo di belakangnya.
“Njeh Mas Divo dan Mbak Indy, ndak apa-apa. Lain kali main kesini ya temenin Mbok sama si Bapak, kata si Mbok ramah.
“Yowes, kalo gitu kami berdua pamit dulu ya Mbok. Ohya, ini buat si Mbok. Terima ya jangan ditolak. Dan ini buat Bapak. Terimakasih Pak atas segalanya.”, Indy menjulurkan sesuatu ke tangan Pak Darmin dan istrinya.
Mereka pun meninggalkan kediaman Pak Darmin dan langsung menuju bukit gunung Sumbing. Mereka sengaja berjalan karena letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Di perjalanan mereka menon-aktifkan handphone masing-masing dan tidak menggunakan barang-barang elektronik lainnya. Semalam Indy mengecek sms yang masuk ke inbox handphonenya. Dr.Yurissa membalas sms yang terakhir ia kirim.
From: Dr.Yurissa
Kemana? Sama Divo? Okelah. Terpaksa aku bohongin papamu lagi. Hati-hati ya. jangan lupa minum obatnya!

Indy hanya tersenyum melihat potongan sms yang dikirim Dr.Yurissa. Kali ini ia benar-benar beruntung karena Papanya tidak ada di rumah saat ia berencana akan pergi mendaki. Indy sangat kesulitan mendapatkan izin dari Papanya hanya untuk mendaki. Bukan cuma itu, tiap ada kegiatan kemah di sekolah Indy harus mati-matian merayu bahkan memaksa Papanya agar bisa ikut. Sebenarnya Papa bukan tidak mengizinkan, tetapi semenjak Indy divonis mengidap vertigo yang sudah kronis, Papanya melarang keras segala bentuk kegiatan yang terlampau melelahkan yang dapat membuat kondisi tubuh anaknya lemah. Alasan lain adalah Papa tidak ingin kehilangan putri yang sangat disayanginya. Karena hanya Indy orang yang ia miliki satu-satunya sekarang. Dr.Yurissa adalah dokter yang mengurusi penyakitnya sejak Indy divonis. Ia wanita yang baik hati dan bisa diajak kerja sama. Sosoknya seperti seorang ibu bagi Indy. Indy betah berlama-lama berbincang dengannya. Maka hubungan mereka menjadi sangat dekat dan mereka mengenal karakter masing-masing. Meskipun begitu, Divo tidak mengetahui kedekatan mereka. Itu karena Indy tidak ingin menceritakan semua rahasia yang masih dipendamnya pada Divo. Dr.Yurissa mengetahui hal ini, bahkan ia banyak mengenal Divo dari cerita-cerita Indy kepadanya.  Dan ia pun hanya bisa tutup mulut karena itu adalah keinginan Indy.

Indivo sudah jauh meninggalkan kaki gunung. Kini mereka melalui medan berbukit-bukit dan berbatu. Ditambah kabut yang tebal dan membutakan penglihatan.
Dug..”  Langkah Indy terhenti karena baru saja ia tersandung.
“Kamu kenapa?” Divo menyangga tubuh Indy yang gontai dan memeriksa suhu tubuhnya dengan meletakkan telapak tangannya ke dahi Indy.
“Ah, aku gak apa-apa kok. Paling cuma pusing aja, udah kamu nggak usah khawatir.”
“Yang bener? Aku serius nih, kalo kamu kenapa-napa kan aku juga yang repot Ndy.”
“Yaudah nggak usah repot-repot. Aku bisa jalan sendiri kok.”
“Jalan sendiri gimana? Kamu tuh barusan kesandung karena terlalu lemas. Mendingan sekarang kita istirahat dulu ya.”

Mereka pun beristirahat di bawah pohon rindang dan memakan sedikit perbekalan. Divo menyuapi makanan ke mulut Indy karena ia terlihat lesu. Tetapi Divo tahu bahwa kondisi Indy yang lemah tidak mungkin cukup memakan sedikit perbekalan. Ia pun rela memberikan bekalnya kepada Indy. Divo hanya menelan ludah disaat perutnya berbunyi karena kelaparan. Indy yang mendengar suara perutnya hanya tersenyum simpul.
“Kalo udah laper tuh gak usah sok kuat, sini aku yang suapin,” Indy menarik bekal yang dipegang Divo yang sedang menyuapinya. Divo nyengir ketika tertangkap basah sedang kelaparan. Divo terlihat senang karena Indy yang tadi lemas kini bersemangat menyuapinya. 

Setelah beristirahat sebentar di sana, mereka melanjutkan perjalanan ke puncak gunung. Trek yang harus dilalui cukup menantang, yakni tebing-tebing terjal, jalanan yang licin dan becek serta mereka harus menembus semak-semak liar. Dengan penuh keberanian, mereka berhasil melalui semua itu. Tinggal seperempat perjalanan lagi yang harus mereka tempuh untuk sampai ke puncak pertama yaitu puncak Buntu. Sedangkan matahari sudah naik di atas kepala. Di depan mereka terbentang jalan  yang terdapat jurang di sisi kanan dan kiri perjalanan. Mereka saling menatap dan tatapan tersebut menyiratkan harapan dan kepercayaan. Mereka akan melaluinya bersama-sama.
Satu jam kebersamaan mereka menerjang trek yang berbahaya terbayar. Mereka sampai di puncak pertama. Dengan suka cita mereka berlari dan berteriak sekencang-kencangnya. Sungguh tak bisa diragukan lagi keindahan alam yang terbentang dan terhampar luas di penjuru negeri. Menyegarkan penglihatan karena alamnya masih alami dan tak pernah tersentuh tangan yang merusak. Bunga edelwys yang tumbuh di puncak gunung menambah kecantikan alam tersebut. Divo memetik dan memasangkannya di telinga Indy. Indy tersenyum malu dan tersipu.
“Kamu tau gak? Kamu cantik pake itu,” puji Divo.
“Aku emang udah cantik. Akui ajalah hahaha.”
“Maksudnya lebih cantik,” tambahnya. Lalu suasana menjadi hening.
 Indy yang menjadi objek yang dipojokkan langsung memecah keheningan, “Eh gimana kalo kita foto-foto? Lumayan kan udah nyampe sini kalo gak diabadikan? hehe.”


Mereka pun asyik berfoto-foto. Setelah itu mereka berniat melanjutkan perjalanan ke puncak ke-dua yaitu puncak Rajawali. Rencananya mereka akan menikmati sunset di sana dan bermalam dengan tenda. Mereka melalui trek yang sama namun ini lebih berbahaya. Jalan semakin curam dan harus memerlukan konsentrasi dalam berjalan agar tidak salah langkah. Dengan penuh kesabaran dan semangat mereka berhasil sampai ke  puncak ke-dua.

“Alhamdulillah ya..akhirnya kita sampe sini. Aku seneng banget Div,” seru Indy dengan nada bahagia.
“Syukurlah kalo kamu seneng. Aku juga kok. Ohya sepuluh menit lagi bakalan ada sunset, aku gak akan ngelewatin yang satu ini,” tegas Divo dengan menggebu-gebu. Ia melangkah ke depan dan menatap seluruh penjuru langit yang mulai berwarna jingga. Sementara Indy duduk di atas batu besar di belakangnya. Keadaan menjadi sunyi. Mereka larut dalam pikiran masing-masing.

Lima menit kemudian Divo menarik nafas lalu menghembuskannya lewat hidung. Lalu ia mulai berbicara, “Ndy, kamu tau kan? Aku paling suka sama sunset. Dan menurut aku sunset kali ini bakalan jadi yang spesial. Kita udah sahabatan 3 tahun dan aku ngerasa deket banget sama kamu. Entah kenapa selama ini aku bodoh banget, aku bohong sama diri sendiri juga sama kamu. Hmm..maksudnya dari sudut pandang aku, aku ngerasa menyembunyikan sesuatu dari kamu. Dan sekarang aku mau jujur, sejujur-jujurnya.  Kamu mau dengerin kan?”
“Dari tadi aku udah dengerin kamu kok. Lagian apaan sih yang disembunyiin?”

Matahari telah berada di sebelah barat garis cakrawala. Sinarnya memantulkan warna jingga kemerahan pada langit-langit sore. Saat itu Divo diliputi rasa cemas, khawatir, deg-degan luar biasa dan sedikit takut dengan pilihannya itu. Indy dengan rasa penasaran turun dari batu besar yang didudukinya, lalu menghampiri Divo. Sebelum Indy hendak berbicara, Divo langsung mengambil alih bagiannya.

“Aku sangat suka sunset. Begitupun sekarang, bahkan detik ini. Aku ingin sunset menyaksikan semua ini,” Divo mengalihkan pandangannya ke wajah Indy, ”Aku menyayangimu. Lebih dari sekedar sahabat.” Matahari menyingsing secara perlahan di kaki langit seakan mengerti perkataan yang diucapkan Divo.
“Aku nggak yakin sama perasaan kamu, maaf. Mungkin kamu salah Div, kita itu sahabat. SAHABAT! Enggak lebih dari itu,” jawab Indy ketus.
Matahari sempurna tenggelam dan hari berganti malam. Divo tidak menyangka akan mendapatkan semburan yang tidak menyenangkan. Hatinya terluka.
“Div, aku gak bermaksud bikin kamu kecewa. Tapi inilah kenyataannya. Aku kira kamu udah siap nerima semuanya. Maaf kalo aku.....,” Indy menggantung kalimatnya dan ia rasa Divo sudah bisa menebak perkataannya.
“Yaudahlah , nggak usah dipikirin. Anggep aja ini angin lalu.” Bibir Divo bergetar seketika dan ia langsung membalikkan tubuhnya menjauhi Indy. Hatinya sangat terluka.
“Div............. Kamu mau kemana?” teriak Indy.  Namun tidak ada jawaban. Ketika Indy hendak berteriak lagi, tenaganya seperti terkuras habis. Kepalanya terasa sangat berat dan tubuhnya goyah. Ia terjatuh ke tanah dan pingsan. Divo menoleh ke belakang dan segera menghampirinya. Ia panik dan berusaha membangunkan Indy tapi tidak berhasil. Ia tidak mengerti apa yang dialami sahabatnya. Sesegera mungkin ia langsung menggendong dan membawa Indy menuruni puncak gunung yang susah payah mereka daki. Ia terus berlari meskipun kakinya harus terseok dan terbelit akar tanaman liar. Demi keselamatan Indy. Ia menerobos kegelapan dan menempuh trek yang sulit. Setelah berjam-jam menuruni puncak, mereka sampai di kaki gunung. Beruntung ada seorang Kuncen yang sedang berjaga di sana. Mereka pun langsung membawa Indy ke rumah Kuncen tersebut.

Saat tiba di rumah sang Kuncen, Indy dibaringkan di atas kasur. Lalu Kuncen tersebut segera memanggil bidan yang berada di kampungnya. Divo kelihatan sangat panik karena tidak bisa berbuat apa-apa. Dan ia menyesali ucapannya saat berada di puncak tadi.
Sang kuncen pun tiba bersama bidan yang dipanggilnya. Bidan tersebut langsung mengeluarkan peralatan yang dibutuhkan dan memeriksa Indy. Setelah itu ia berpesan bahwa Indy harus secepat mungkin dibawa ke rumah sakit.
“Gimana caranya kita bawa teman saya ke rumah sakit Pak?”  tanya Divo panik.
“Ampun panik, kulo sampun ijin ngampil mobil kelurahan,” jawab Sang kuncen kepada Divo.

Mobil kelurahan pun tiba. Mereka menggotong Indy masuk ke dalam dan membaringkannya di kursi. Hanya ada Divo, Bidan dan Supir yang mengantar Indy ke rumah sakit. Sang kuncen tidak ikut karena ia masih bertugas menjaga kaki gunung Sumbing.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Divo tidak henti-hentinya berdoa demi keselamatan Indy. Ia sangat takut kehilangan sahabatnya. Ia tidak ingin itu terjadi pada dirinya. Soal penolakan saat sunset sore itu terbesit di benaknya. Perasaannya saat ini lebih sakit daripada itu. Ia mencoba melupakan semua kejadian pada senja hari itu. Ia tidak ingin mengingatnya lagi.
Saat tiba di rumah sakit, Indy dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat dan Divo langsung menghubungi Papa Indy. Papanya yang sedang sibuk bekerja di luar kota pun rela meninggalkan urusan kantornya untuk menjenguk Indy secepat mungkin. Papanya memesan tiket komersil pada hari dan  jam itu juga karena ini menyangkut keselamatan putrinya.
Indy terbaring tak berdaya di kamar rumah sakit. Ia sudah ditangani oleh Dokter yang berada di sampingnya. Ia sungguh beruntung karena nyawanya masih bisa diselamatkan.
Sang bidan dan supir yang mengantarkan mereka segera pulang dan berpamitan. Mereka ikhlas melakukan pertolongan kepada Indy dan Divo. Divo yang sedari tadi menunggu diizinkan masuk oleh Dokter yang bersangkutan. Dokter tersebut memberitahu bahwa Indy akan segera pulih kembali meskipun setelah itu ia harus melewati rangkaian pengobatan. Divo menghampiri Indy dan duduk di kursi yang ada di samping kasur. Kedua tangannya menggenggam tangan Indy erat. Divo tertunduk dan membenamkan wajahnya.

“Kalo kamu nggak suka nggak apa-apa kok Ndy. Aku gak maksa kamu. Maafin aku ya gara-gara aku, kamu bisa kayak gini. Aku nyesel banget Ndy, jangan tinggalin aku ya,” ucap Divo lirih.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 23.00. Divo tertidur di kursi dengan wajah terbenam di sisi kasur. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di atas kasur. Indy menggerakkan tangannya. Ia sudah siuman. Kelopak matanya terbuka dan melihat sekeliling ruangan. Ia harus berpikir dua kali untuk memastikan di mana ia sekarang. Ia memandang Divo yang tertidur di kursi lalu menyelimutinya.
“Bukan kamu yang membuat keadaanku kayak sekarang ini. Aku yang  bodoh. Nggak dengerin kamu. Malah sekarang aku ngerepotin kamu. Seharusnya nggak kayak gini. Maafin aku Div, selalu nyusahin kamu. Kalaupun hari ini aku harus pergi ninggalin kamu, enggak kayak gini caranya,” ucap Indy seakan menjawab pertanyaan Divo sebelum ia tertidur.

Indy merebahkan kembali tubuhnya di kasur rumah sakit tersebut. Lalu ia pun ikut tertidur.
Pagi harinya Papa Indy tiba di bandara dan langsung memesan taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat putrinya dirawat. Sepanjang penerbangan, ia terus memikirkan nasib putrinya. Ia sangat resah dan tidak bisa tidur karena terbayang-bayang nasib buruk menimpa putrinya. Saat berada di taksi pun ia masih tetap terjaga. Dua jam kemudian taksi yang ditumpanginya tiba di rumah sakit yang dituju. Ia segera menuju lobi utama dan pergi ke meja receptionist untuk menanyakan nomor kamar putrinya dan Dokter yang menanganinya. Setelah mendapatkan informasi dari receptionist, Papa Indy bergegas menemui Sang dokter. Ia berpapasan dengan Dokter tersebut di depan ruangannya. Mereka pun masuk dan berbincang.
“Dok, apakah putri saya baik-baik saja?”  tanya Papa Indy kepada sang dokter.
“Untuk saat ini putri Bapak sudah pulih, namun ia masih harus melakukan rangkaian pengobatan,” jelas Sang dokter.
“Saya sangat berharap pada Dokter bagaimanapun caranya saya ingin anak saya kembali pulih total Dok.”
“Kesembuhan total belum bisa kami pastikan. Yang jelas kami akan melakukan cara yang terbaik dan optimal untuk kebaikan putri Bapak.”
“Ya Dok, terimakasih.”

Papa Indy meninggalkan ruang dokter tersebut dan segera menuju kamar putrinya. Di sana Indy sudah bangun dan sarapan. Begitu pun Divo, ia sudah mandi dan sedang sarapan di kantin rumah sakit. Saat ini, Papanya tiba di depan pintu dan hendak masuk ke dalam ruangannya. Ketika pintu terbuka, Indy terkejut karena yang datang adalah Papanya. Papa langsung memeluk Indy dan mencium putri kesayangannya. Papa meneteskan air matanya dan Indy langsung menghapus air mata di pipi Papanya itu.
“Papa jangan nangis gitu ah, nanti jadi jelek loh hehehe.” kata Indy meledek Papa.
“Kamu gak apa-apa kan sayang? Papa khawatir sekali sama kamu nak. Kamu abis ngapain aja bisa sampe seperti ini?” tanya Papa sedih.
“Aku nggak apa-apa kok Pa. Liat nih aku sehat kan?” ucap Indy sambil terlihat ceria dan menggerak-gerakan tangan dan kakinya.
“Dasar anak Papa yang satu ini. Bisa saja..”
“Iya dong, siapa dulu Papanya? hehehe. Papa gak usah khawatir sama aku ya. Aku baik-baik aja kok.”
“Iya sayang Papa percaya.”

Mereka pun tertawa dan terus berbincang. Indy mengakui kebohongannya pada Papa mengenai pemeriksaan rutinnya ke Dr.Yurissa dua hari yang lalu. Papanya sudah memberitahu kepada Dr.Yurissa soal Indy masuk rumah sakit. Dan Indy menceritakan semua kisahnya dengan Divo sebelum dan sesudah pendakian.
Divo tiba di depan ruang Indy terbaring. Ia masuk dan terkejut karena Papa Indy sudah tiba lebih dahulu dari dirinya.
“Pagi Om. Kapan tiba di sini?” sapa Divo sopan.
“Sekitar tiga puluh menit yang lalu. Ayo duduk.” Papa Indy menarik kursi di sampingnya dan menyodorkannya kepada Divo.
“Terimakasih Om. Sebelumnya saya minta maaf  karena telah membuat Om jauh-jauh datang kesini...........” Kalimat Divo terpotong.
“Indy sudah menceritakan semuanya sama Om. Om percaya sama kamu Divo.”
Divo memalingkan wajah ke arah Indy. Ia membalasnya dengan anggukan kepala.
“Baiklah Divo, sekarang kamu mau mendengar penjelasan putri Om?”
“Iya Om, saya bersedia.”
“Div. Aku mau ralat jawabanku yang kemarin, sebenernya aku juga sayang sama kamu. Tapi aku mau ngejalanin semuanya kayak kita sahabatan. Aku mau kamu jadi sahabat juga pacar buat aku. Bisa kan Div?”
“Kamu nggak terpaksa kan?” tanya Divo meyakinkan.
Please deh Div. Sunset gak bakal ada lagi buat kamu kalo kamu masih nanya kayak gini,” Indy mendengus sebal.
“Jadi intinya sekarang kita?”
“Kita resmi pacaran Divooo... Gimana Pa? Sah enggak?”
“Sah!” jawab Papa dengan suara lantang.

Mereka tertawa senang. Akhirnya Divo dan Indy berpacaran. Indy tak segan untuk bercerita tentang vertigo yang dideritanya. Juga Dr.Yurissa yang selama ini menjadi dokter pribadinya. 3 hari berikutnya Indy baru diizinkan pulang oleh Dokter rumah sakit tempat ia dirawat. Sebelum kembali ke Jakarta, ia datang ke kampung seorang Kuncen yang waktu itu menolongnya juga ke rumah Bidan dan Supir yang juga ikut membantu.
Teman terbaik bukan hanya orang yang bertindak dan berkata-kata jujur di depanmu.Tetapi orang yang tetap jujur di belakangmu.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar