“Tiiiin..tiiiiin...,” bunyi klakson
motor memecah kesunyian pagi di halaman depan rumah Indy. Ia baru saja
mengemasi barang-barang yang hendak dibawanya untuk pendakian kali ini. Sebuah carier yang digendongnya adalah hadiah
pertama yang diberikan Papa kepadanya. Waktu menunjukkan pukul 04.00. Ia pun
bergegas menuju halaman rumah yang masih ramai oleh suara klakson tersebut.
“ Lama banget Neng dandannya. Buruan
naik! Udah hampir siang.”
“Yee..enggaklah, aku baru packing tadi. Maaf ya kalo lama nunggu
hehe.”
“ Hmm gapapa. Yaudah cepetan naik!”
Indy pun naik ke jok belakang Kawasaki Ninja milik Divo. Seketika motor tersebut melesat
meninggalkan halaman rumah Indy.
Indy adalah seorang gadis berusia 18
tahun. Ia baru saja menempuh Ujian Nasional seminggu yang lalu. Indy memiliki
seorang sahabat kecil yang kini seusia dengannya, yaitu Divo. Mereka memiliki
banyak kesamaan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah mendaki gunung. Sejak
kecil Indy sering melakukan pendakian bersama Ayahnya ke beberapa gunung di
Indonesia. Ayah Indy adalah seorang backpacker. Karena seringnya mendaki, Indy menyukai hal
tersebut dan menjadikannya hobi. Sedangkan Divo mendaki sejak mengikuti ekskul
pecinta alam di SMU-nya. Dan ia menjadi sangat suka mendaki karena kecintaannya
pada alam.
Hari ini mereka
berencana untuk mendaki gunung Sumbing (3371 mdpl) yang
terletak di Wonosobo, Jawa Tengah. Jarak yang harus ditempuh dari Jakarta-Wonosobo
sekitar 465 km. Mereka menggunakan motor untuk menuju stasiun bus dan
menitipkannya ke salah satu rumah temannya yang berada di dekat sana. Mereka
tiba di stasiun pada pukul 04.30. Sebelumnya mereka telah memesan tiket sehari sebelum
keberangkatan. Jadi mereka langsung mencari kursi untuk menunggu kedatangan bus
sambil berbincang-bincang.
“Aduuh laper nih,” keluh Divo memulai
perbincangan.
“Emangnya tadi kamu gak sarapan?” balas
Indy.
“Gak sempet. Aku kan gak mau telat cuma
karena aku sarapan dulu.”
“Maaf ya gara-gara aku kamu gak sempet
sarapan,” balas Indy memelas.
Ia mengeluarkan sekotak tempat makan
yang berisi roti tawar yang dilapisi selai coklat di dalamnya. Lalu menyodorkan
kotak makan tersebut kepada Divo yang sedang keroncongan. “Nih buat pengganjal
perut kamu nanti selama di perjalanan.”
“Nah gitu dong. Kenapa gak dari tadi aja
nawarinnya,” Divo dengan sigap meraih kotak makan milik Indy. Tanpa seizin
Indy, ia langsung melahap habis roti selai coklat tersebut. Indy yang membiarkan
tingkah laku sahabatnya itu tak tega melihatnya makan seperti orang tak makan
seminggu.
Bus yang sedari tadi mereka nanti-nanti
pun datang dan menuju tempat pemberhentian bus. Mereka langsung berlari kecil
masuk ke dalam bus dan memasukkan carier
ke dalam bagasi. Setelah itu mencari nomor duduk untuk ditempati.
“Div, aku merasa perjalanan kita kali
ini bakalan panjang,” celetuk Indy yang baru saja menyenderkan kepalanya di
tempat duduknya.
“Maksudnya?”
“Maksudku, medan yang kita pilih terlalu
complicated. Aku khawatir gak kuat naik.”
“Kalo kamu udah gak kuat naik, kamu
bilang sama aku. Kita gak mungkin turun kalo udah jauh mendaki.”
“Terus kamu mau ngapain kalo aku udah
gak kuat?”
“Ya gendonglah.”
“ Ih cari-cari kesempatan dalam
kesempitan!”
“Yaudah kalo gak mau aku tinggal aja
mendingan.”
“Kamu tuh ya....” Kalimat Indy
menggantung di lidah dan ia tidak berniat untuk melanjutkannya. Divo pun
tergelak geli melihat ekspresi wajah Indy yang cemberut dan memerah jambu.
Sementara waktu menunjukkan pukul 05.00,
mereka melaksanakan sholat subuh terlebih dahulu. Lalu pada pukul 05.20 bus
melesat meninggalkan stasiun pemberhentian. Divo yang menguap selama menunggu
bus di stasiun tadi merasakan rasa kantuk yang berat. Ia pun tertidur dengan
lelap. Sementara Indy hanya memandang layar handphonenya
sambil menuliskan pesan kepada seseorang.
To:
Dr.Yurissa
Hari
ini sampai tiga hari ke depan aku gak bisa dateng. Aku lagi ada acara sama
temen. Nanti kalo Papa nanya, kasih tau aku udah ke sana hari ini ya.
Entah apa yang ada dipikirannya hari ini
sampai ia tidak sama sekali merasa melanggar suatu larangan dari Papanya. Ia
merasa senang. Lebih dari itu, ia merasa bahagia berada di dekat sahabatnya
yang selalu ada untuknya. Kapan pun dan di mana pun ia membutuhkan. Ia merasa
Divo seakan mengerti apa yang ditakutkan atau diistimewakannya. Divo selalu
mengerti semua keluh kesahnya. Ia selalu membiarkan pundaknya basah untuk
menumpangkan tangisan seorang gadis sepertinya yang dilema. Divo selalu menjadi
pelindung dari segala macam ancaman yang ada dihadapannya. Divo bukan tipikal
laki-laki yang liar atau pembual. Ia bersikap dewasa dalam bertindak dan
mengambil keputusan. Ia juga dapat dipercaya. Maka dari itulah Indy memutuskan
bersahabat dengannya. Mereka sangat loyal dan terbuka satu sama lain. Namun Divo lebih tertutup dibandingkan
dengan Indy yang ceplas-ceplos. Di sekolah mereka terkenal dengan sebutan “Indivo”, ada juga yang menyebut “lem kertas” karena mereka sangat lengket
seperti lem dengan kertas. Gaya persahabatan mereka sangat unik. Mereka mempunyai semacam simbol atau bahasa tubuh
yang hanya merekalah yang mengerti. Seperti melakukan gerakan pemanasan ringan,
kode untuk memanggil dalam keadaan mendesak. Menyilangkan kedua tangan kode
memberitahu agar menunggu sebentar. Mengibaskan rambut kode menarik perhatian seseorang.
Menyubit tangan untuk memberikan semangat. Menyilangkan jari telunjuk dan jari
tengah dan menyembunyikannya ke belakang punggung kode sedang membohongi orang
dan masih banyak lagi kode-kode yang mereka ciptakan. Meskipun mereka berbeda
kelas tetapi mereka tetap kelihatan selalu bersama dan banyak teman-temannya
yang menganggap mereka berpacaran. Mereka berdua tidak pernah mempermasalahkan
soal itu karena memang tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka bersahabat
tidak memandang berapa besar materi kekayaan atau ketenaran yang mereka miliki.
Tetapi mereka cocok karena satu pemikiran dan selalu beradu argumentasi dalam
berbagai macam diskusi. Kedua orang tua mereka sudah kenal akrab bahkan sudah
seperti keluarga. Yang membedakan Divo dan Indy adalah kelengkapan anggota
keluarga. Divo memiliki orangtua yang lengkap juga satu orang adik perempuan.
Sedangkan Indy hanya memiliki seorang Ayah yang sangat menyayanginya melebihi
apapun yang ada di dunia ini. Ia anak tunggal yang sampai saat ini dimiliki
oleh Ayahnya. Ibunya sudah meninggal 3 tahun lalu karena serangan jantung.
Sejak saat itu Indy menjadi kesepian karena tidak ada yang mendengarkan keluh
kesahnya. Ayahnya jarang memiliki waktu untuknya karena kepadatan jadwal kerja.
Syukurlah adanya Divo dapat mengobati kesepian Indy yang telah menimbun itu.
Lima jam kemudian mereka telah sampai di
tempat peristirahatan bus. Indy membangunkan Divo yang sudah lama tertidur.
“Div, bangun!” Indy menepuk-nepukkan
tangannya ke pundak Divo.
“Hmmmmm... Jangan ndy! Jangan loncat!”
“Yee.., apa-apaan sih nih anak. Woi
bangun! Ngigau mulu,” seru Indy sambil mencubit pipi Divo dengan gemas. Divo
pun tersentak dan membuka mata lalu mengucek-uceknya.
“Eh, bangunin orang tuh yang bener dong.
Kalau orangnya jantungan gimana?”
“Salah sendiri dibangunin nggak
bangun-bangun. Udah deh nggak usah banyak komen, mendingan sekarang kamu cuci
muka. Ihhh tuh ilernya udah kemana-mana,” ledek Indy.
“Orang ganteng sih no problem kalo ada ilernya, tetep kelihatan ganteng hahahahah.”
Indy hanya mendecak. Mereka pun keluar
dari bus dan mencari toilet masing-masing. Setelah membersihkan diri di toilet,
mereka pergi menuju food court yang
menyediakan menu makanan yang murah dan sesuai dengan isi kantong mereka.
Mereka memesan nasi goreng spesial dan teh manis hangat untuk sarapan pagi itu.
Suasana sangat menyenangkan karena disela-sela makan, Divo mengoceh dan terus
melontarkan potongan kejadian dalam mimpinya yang membuat ia tersentak bangun
ditambah cubitan Indy yanga jatuh di pipinya. Itulah kelebihannya, di samping bersikap
dewasa, di situasi yang tepat ia dapat
membuat lelucon atau bergurau. Entah mengapa apapun gurauan yang
disampaikannya, Indy dapat tergelak dan tergelitik.
Setelah selesai makan, mereka segera
menuju bus. Saat tiba di dalam bus, hanya tempat duduk mereka yang kosong.
Ternyata orang-orang di dalam bus sejak tadi menunggu kedatangan mereka. Dengan
malu-malu mereka duduk di tempat masing-masing. Bus pun menancapkan gas
meninggalkan tempat peristirahatan.
Divo merebahkan punggungnya. Sedangkan
Indy duduk menyamping melihat pemandangan dari dalam kaca bus. Pegunungan
tampak menjulang dari kaki jalan tol yang mereka lalui. Tiba-tiba Divo dengan
gerakan yang gesit memencet tombol capture
di handphonenya dan menangkap wajah
Indy yang sedang ternganga menikmati pemandangan di luar.
“Klik!” bunyi capture di handphone Divo
membuyarkan semua bayangan Indy yang sedang menikmati pemandangan.
“Arghhhht! Rese banget sih kamu. Buruan
hapus fotonya!”
“Hahahaha tidak semudah itu Nona,” kata
Divo menanggapi.
“HAPUS sekarang!!!”
“Sssttttt, kok galak banget sih ?
Kecilin sedikit dong volume suara kamu. Tuh liat penumpang lain pada bangun
gara-gara suara kamu yang cempreng.”
“Ups, keceplosan. Yaudah tapi hapus dulu
fotonyaaaa.”
“Enak aja hahaha. Kalo mau gitu
syaratnya kamu harus jawab satu pertanyaanku dulu.”
“Apa ?”
“Kapan
waktu bidadari dateng ke bumi?”
“Itu sih gampang. Anak TK juga bisa
jawab begituan doang. Kalo abis ujan kan biasanya ada pelangi, nah bidadarinya
turun lewat situ buat mandi di kolam air terjun hahaha. Buruan hapus fotonya!”
“Jawaban kamu salah total. Jawab dulu
dong yang bener.”
“Terus apa jawabannya?”
“Nyerah nih? Ckck. Bidadari dateng ke
bumi disaat orang-orang membutuhkan kasih sayang. Terutama orang-orang yang
kesepian, makanya dia ingin memberikan cintanya kepada orang malang tersebut
agar dia nggak kesepian lagi....,”
“Kamu tuh kayak nggak ada pertanyaan
lain aja deh...”
“Ssssttt... Jangan dipotong dulu! Aku
belom selesai ngomong. Dan bidadari tersebut nggak pernah merasa capek atau
lelah memberikan kasih sayangnya. Karena dia tau kalau orang tersebut akan
bahagia suatu saat nanti. Dan membalas
semua kebaikannya.”
“Kok aku nggak ngerti ya? Kamu itu yang
aneh-aneh aja deh.”
“Aneh gimana sih Ndy. Sepupu aku yang
masih kecil aja ngerti. Masa kamu yang udah segede ini nggak ngerti ? hahahha.
Yaudah deh kalo gitu fotonya nggak aku hapus.”
“Kalo mau ngedongeng tuh jangan ke aku.
Udah tau aku bukan anak kecil lagi. Jangan samain aku kayak anak kecil pleaseee.”
“Hehehe sorry yaa, aku cuma bercanda kok Ndy. Senyum dong,” Divo menepukkan
kedua telapak tangannya dan memohon dengan nada sok-memelas.
“Iyaa.. Yaudah aku mau tidur. Jangan
ganggu aku ya!”
“Siiiip” balas Divo seraya mengangkat
kedua jempolnya.
Dalam perjalanan selama 12 jam tersebut
dihabiskan mereka untuk beristirahat guna memulihkan kondisi tubuh selama di
perjalanan. Divo yang kebanyakan membaca Beruang
Gunung selama perjalanan itu kini merasakan kantuk menyerangnya. Sekilas ia
melihat wajah sahabatnya. Tampak wajah lelah menyelimutinya, tapi sedetik
kemudian ia melihat kembali lekat-lekat wajah itu. Wajah yang menjanjikan
kebahagian untuknya. Wajah yang sering ia buat cemberut juga tawa terbahak. Ia
tampak manis dan lucu saat tertidur seperti itu. Ia menyukai gadis itu.
12 jam berlalu sangat cepat. Laju dari bus
yang berkelok-kelok mengikuti arah perjalanan membuat Indy bangun terlebih dulu
sebelum Divo. Hari telah petang dan warna langit jingga kemerah-merahan. Dua
puluh menit lagi mereka sampai di perkampungan yang akan mereka singgahi untuk
bermalam. Bus yang mereka tumpangi menurunkannya di depan sebuah kampung
bernama Desa Butuh yang terletak di Dusun Garung. Divo dan Indy menopang cariernya
masing-masing di punggung. Lalu mereka berjalan menuju rumah Ketua RT setempat.
Sebelumnya mereka pernah singgah di rumah seorang warga di sekitar sini dalam
pendakian pertamanya ke gunung Sumbing dan Sindoro. Setelah mendapatkan izin
dari ketua RT, mereka diperbolehkan menginap di rumah salah seorang warganya.
Mereka akan menginap di rumah Pak Darmin. Pak Darmin dan istrinya menerima
kedatangan mereka dengan senang hati. Setelah itu mereka dipersilahkan mandi
oleh empunya rumah. Saat adzan maghrib berkumandang, mereka semua melaksanakan
sholat berjamaah. Yang menjadi imam adalah Pak Darmin.
Sesudah sholat maghrib, Divo, Indy serta
Pak Darmin dan istrinya makan bersama di atas sebuah tikar pandan. Pada saat
makan Divo tidak banyak mengoceh, dibandingkan Indy yang sangat senang bertanya
bagaimana perkembangan kampung di kaki gunung Sumbing ini. Selesai makan,
mereka berbincang-bincang.
“Saya sudah 30 tahun di sini. Tapi belum
ada tradisi yang berubah . Yang paling banyak berubah tuh kebiasaan masyarakat
di sini yang sudah pakai hape buat komunikasi atau pakai internet
seperti gugel,” tutur Pak Damin
dengan logat Jawa-nya.
“Wah bapak sendiri udah punya hape belum?hehe,” canda Indy.
“Kalo saya sih sudah Mbak. Kan malu kalo
zaman sekarang ndak punya hape, katanya kamseupay.” Mereka pun tertawa dan terus berbincang sampai larut
malam. Indy yang sudah tidak bisa menahan rasa kantuk pun dipersilahkan tidur
di bilik tamu milik Pak Darmin. Ruang itu sengaja dibuat khusus untuk tamu yang
ingin bermalam sebelum melakukan pendakian. Berbeda dengan Divo, ia tidur di lantai
yang beralaskan sleeping bag miliknya
di tempat mereka makan tadi.
Pukul 22.00 mereka semua baru bisa tertidur dari perjalanan melelahkan
seharian.
Matahari menyingsing dari
ufuk timur. Ayam-ayam
mulai berkokok bersahutan dan senandung alam mulai dinyanyikan. Pagi itu mereka
bersiap memulai pendakian. Indy mengenakan kaos lengan pendek dengan jeans
hitam dan jaket tebal untuk menghindari udara dingin di kaki pegunungan. Begitu
pun Divo, ia tidak ingin mempersulit pakaiannya saat sedang mendaki. Sebelum
berangkat mereka disuguhkan sarapan dan berpamitan dengan tuan rumah meminta
doa untuk keselamatan dalam pendakian.
“Matur nuwun Pak,
Bu. Maaf kami udah ngerepotin kalian berdua,” ucap Divo sambil mencium tangan Pak Darmin dan istrinya. Indy pun melakukan hal serupa
membuntuti Divo di belakangnya.
“Njeh Mas Divo dan Mbak Indy, ndak apa-apa. Lain kali main kesini ya temenin Mbok sama si Bapak,” kata si Mbok ramah.
“Yowes, kalo gitu kami
berdua pamit dulu ya Mbok. Ohya, ini buat si Mbok. Terima ya jangan ditolak. Dan ini buat Bapak. Terimakasih Pak atas segalanya.”, Indy menjulurkan sesuatu ke
tangan Pak Darmin dan istrinya.
Mereka pun meninggalkan
kediaman Pak Darmin dan langsung menuju bukit gunung Sumbing. Mereka sengaja
berjalan karena letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Di perjalanan mereka
menon-aktifkan handphone
masing-masing dan tidak menggunakan barang-barang elektronik lainnya. Semalam
Indy mengecek sms yang masuk ke inbox handphonenya. Dr.Yurissa membalas sms yang terakhir ia kirim.
From: Dr.Yurissa
Kemana? Sama Divo? Okelah. Terpaksa aku bohongin papamu lagi. Hati-hati
ya. jangan lupa minum obatnya!
Indy hanya tersenyum melihat
potongan sms yang dikirim Dr.Yurissa.
Kali ini ia benar-benar beruntung karena Papanya tidak ada di rumah saat ia berencana akan pergi
mendaki. Indy sangat kesulitan mendapatkan izin dari Papanya hanya untuk mendaki. Bukan cuma itu, tiap ada
kegiatan kemah di sekolah Indy harus mati-matian merayu bahkan memaksa Papanya agar bisa ikut. Sebenarnya Papa bukan tidak mengizinkan, tetapi semenjak Indy
divonis mengidap vertigo yang sudah
kronis, Papanya
melarang keras segala bentuk kegiatan yang terlampau melelahkan yang dapat
membuat kondisi tubuh anaknya lemah. Alasan lain adalah Papa tidak ingin kehilangan putri yang sangat
disayanginya. Karena hanya Indy orang yang ia miliki satu-satunya sekarang.
Dr.Yurissa adalah dokter yang mengurusi penyakitnya sejak Indy divonis. Ia
wanita yang baik hati dan bisa diajak kerja sama. Sosoknya seperti seorang ibu
bagi Indy. Indy betah berlama-lama berbincang dengannya. Maka hubungan mereka menjadi
sangat dekat dan mereka mengenal karakter masing-masing. Meskipun begitu, Divo
tidak mengetahui kedekatan mereka. Itu karena Indy tidak ingin menceritakan
semua rahasia yang masih dipendamnya pada Divo. Dr.Yurissa mengetahui hal ini,
bahkan ia banyak mengenal Divo dari cerita-cerita Indy kepadanya. Dan ia pun hanya bisa tutup mulut karena itu
adalah keinginan Indy.
Indivo sudah jauh
meninggalkan kaki gunung. Kini mereka melalui medan berbukit-bukit dan berbatu. Ditambah kabut
yang tebal dan membutakan penglihatan.
“Dug..” Langkah Indy terhenti karena baru saja ia tersandung.
“Kamu kenapa?” Divo
menyangga tubuh Indy yang gontai dan memeriksa suhu tubuhnya dengan meletakkan
telapak tangannya ke dahi Indy.
“Ah, aku gak apa-apa kok.
Paling cuma pusing aja, udah kamu nggak usah khawatir.”
“Yang bener? Aku serius nih,
kalo kamu kenapa-napa kan aku juga yang repot Ndy.”
“Yaudah nggak usah
repot-repot. Aku bisa jalan sendiri kok.”
“Jalan sendiri gimana? Kamu tuh
barusan kesandung karena terlalu lemas. Mendingan sekarang kita istirahat dulu
ya.”
Mereka pun beristirahat di
bawah pohon rindang dan memakan sedikit perbekalan. Divo menyuapi makanan ke
mulut Indy karena ia terlihat lesu. Tetapi Divo tahu bahwa kondisi Indy yang
lemah tidak mungkin cukup memakan sedikit perbekalan. Ia pun rela memberikan
bekalnya kepada Indy. Divo hanya menelan ludah disaat
perutnya berbunyi karena kelaparan. Indy yang mendengar suara perutnya hanya
tersenyum simpul.
“Kalo udah laper tuh gak usah sok kuat,
sini aku yang suapin,” Indy menarik bekal yang dipegang Divo yang sedang
menyuapinya. Divo nyengir ketika tertangkap basah sedang kelaparan. Divo
terlihat senang karena Indy yang tadi lemas kini bersemangat menyuapinya.
Setelah beristirahat sebentar di sana,
mereka melanjutkan perjalanan ke puncak gunung. Trek yang harus dilalui cukup menantang, yakni tebing-tebing
terjal, jalanan yang licin dan becek serta mereka harus menembus semak-semak
liar. Dengan penuh keberanian, mereka berhasil melalui semua itu. Tinggal
seperempat perjalanan lagi yang harus mereka tempuh untuk sampai ke puncak
pertama yaitu puncak Buntu. Sedangkan matahari sudah naik di atas kepala. Di
depan mereka terbentang jalan yang
terdapat jurang di sisi kanan dan kiri perjalanan. Mereka saling menatap dan
tatapan tersebut menyiratkan harapan dan kepercayaan. Mereka akan melaluinya
bersama-sama.
Satu jam kebersamaan mereka menerjang trek yang berbahaya terbayar. Mereka
sampai di puncak pertama. Dengan suka cita mereka berlari dan berteriak
sekencang-kencangnya. Sungguh tak bisa diragukan lagi keindahan alam yang
terbentang dan terhampar luas di penjuru negeri. Menyegarkan penglihatan karena
alamnya masih alami dan tak pernah tersentuh tangan yang merusak. Bunga edelwys yang tumbuh di puncak gunung
menambah kecantikan alam tersebut. Divo memetik dan memasangkannya di telinga
Indy. Indy tersenyum malu dan tersipu.
“Kamu tau gak? Kamu cantik pake itu,” puji
Divo.
“Aku emang udah cantik. Akui ajalah
hahaha.”
“Maksudnya lebih cantik,” tambahnya.
Lalu suasana menjadi hening.
Indy yang menjadi objek yang dipojokkan
langsung memecah keheningan, “Eh gimana kalo kita foto-foto? Lumayan kan udah
nyampe sini kalo gak diabadikan? hehe.”
Mereka pun asyik berfoto-foto. Setelah
itu mereka berniat melanjutkan perjalanan ke puncak ke-dua yaitu puncak Rajawali. Rencananya mereka akan menikmati sunset
di sana dan bermalam dengan tenda. Mereka melalui trek yang sama namun ini lebih berbahaya. Jalan semakin curam dan
harus memerlukan konsentrasi dalam berjalan agar tidak salah langkah. Dengan
penuh kesabaran dan semangat mereka berhasil sampai ke puncak ke-dua.
“Alhamdulillah ya..akhirnya kita sampe
sini. Aku seneng banget Div,” seru Indy dengan nada bahagia.
“Syukurlah kalo kamu seneng. Aku juga
kok. Ohya sepuluh menit lagi bakalan ada sunset,
aku gak akan ngelewatin yang satu ini,” tegas Divo dengan menggebu-gebu. Ia
melangkah ke depan dan menatap seluruh penjuru langit yang mulai berwarna
jingga. Sementara Indy duduk di atas batu besar di belakangnya. Keadaan menjadi
sunyi. Mereka larut dalam pikiran masing-masing.
Lima menit kemudian Divo menarik nafas
lalu menghembuskannya lewat hidung. Lalu ia mulai berbicara, “Ndy, kamu tau
kan? Aku paling suka sama sunset. Dan
menurut aku sunset kali ini bakalan
jadi yang spesial. Kita udah sahabatan 3 tahun dan aku ngerasa deket banget
sama kamu. Entah kenapa selama ini aku bodoh banget, aku bohong sama diri
sendiri juga sama kamu. Hmm..maksudnya dari sudut pandang aku, aku ngerasa
menyembunyikan sesuatu dari kamu. Dan sekarang aku mau jujur,
sejujur-jujurnya. Kamu mau dengerin
kan?”
“Dari tadi aku udah dengerin kamu kok.
Lagian apaan sih yang disembunyiin?”
Matahari telah berada di sebelah barat
garis cakrawala. Sinarnya memantulkan warna jingga kemerahan pada langit-langit
sore. Saat itu Divo diliputi rasa cemas, khawatir, deg-degan luar biasa dan
sedikit takut dengan pilihannya itu. Indy dengan rasa penasaran turun dari batu
besar yang didudukinya, lalu menghampiri Divo. Sebelum Indy hendak berbicara,
Divo langsung mengambil alih bagiannya.
“Aku sangat suka sunset. Begitupun sekarang, bahkan detik ini. Aku ingin sunset menyaksikan semua ini,” Divo
mengalihkan pandangannya ke wajah Indy, ”Aku menyayangimu. Lebih dari sekedar
sahabat.” Matahari menyingsing secara perlahan di kaki langit seakan mengerti
perkataan yang diucapkan Divo.
“Aku nggak yakin sama perasaan kamu,
maaf. Mungkin kamu salah Div, kita itu sahabat. SAHABAT! Enggak lebih dari
itu,” jawab Indy ketus.
Matahari sempurna tenggelam dan hari
berganti malam. Divo tidak menyangka akan mendapatkan semburan yang tidak
menyenangkan. Hatinya terluka.
“Div, aku gak bermaksud bikin kamu
kecewa. Tapi inilah kenyataannya. Aku kira kamu udah siap nerima semuanya. Maaf
kalo aku.....,” Indy menggantung kalimatnya dan ia rasa Divo sudah bisa menebak
perkataannya.
“Yaudahlah , nggak usah dipikirin. Anggep
aja ini angin lalu.” Bibir Divo bergetar seketika dan ia langsung membalikkan
tubuhnya menjauhi Indy. Hatinya sangat terluka.
“Div............. Kamu mau kemana?” teriak
Indy. Namun tidak ada jawaban. Ketika
Indy hendak berteriak lagi, tenaganya seperti terkuras habis. Kepalanya terasa
sangat berat dan tubuhnya goyah. Ia terjatuh ke tanah dan pingsan. Divo menoleh
ke belakang dan segera menghampirinya. Ia panik dan berusaha membangunkan Indy
tapi tidak berhasil. Ia tidak mengerti apa yang dialami sahabatnya. Sesegera
mungkin ia langsung menggendong dan membawa Indy menuruni puncak gunung yang
susah payah mereka daki. Ia terus berlari meskipun kakinya harus terseok dan
terbelit akar tanaman liar. Demi keselamatan Indy. Ia menerobos kegelapan dan
menempuh trek yang sulit. Setelah
berjam-jam menuruni puncak, mereka sampai di kaki gunung. Beruntung ada seorang
Kuncen yang sedang berjaga di sana. Mereka pun langsung membawa Indy ke rumah Kuncen
tersebut.